Thisstudy explored the practice of power relations and the panopticon as a disciplinary mechanism in Seno Gumira Ajidarma’s Istana Tembok Bolong short story.‘Istana tembok bolong’ in this literary work refers to a place near a train station that is separated from the outside area by a perforated wall, which turns to be a palace for the lower class of society occupying the space.
Cerpen Macan Karya Seno Gumira Ajidarma. Saksi mata merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen saksi mata yang dikarang oleh seno gumira ajidarma. Dikritik kali ini adalah cerpen karya seno gumira adjidarma. Cerpen Seno Gumira Ajidarma Gambaran from Koleksi cerita pendek karya seno gumira ajidarma. Berikut contoh analisis ideologi dalam cerpen “kematian paman gober” karya seno gumira ajidarma. Meski ceritanya pendek, sebuah cerpen yang. Pengertian Cerpen Cerpen Adalah Karangan Pendek Yang Berbentuk Pelajaran Mengarang Merupakan Cerpen Terbaik Harian Kompas Cerpen Dipisahkan Sepenggal Kehidupan Tokoh, Yang Penuh Pertikaian, Peristiwa Yang Mengharukan Atau Menyenangkan, Dan Mengandung Kesan Yang Tidak Mudah Dilupakan.[1]Pada Kumpulan Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma, Yang Kini Bergabung Menjadi Sebuah Karya Dengan Judul Trilogi Insiden, Yang Mencakup Saksi Mata, Jazz, Parfum, & Insiden, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Pada Kali Ini Penulis Hanya Berfokus Pada Pembahasan Kumpulan Cerpen Saksi Kumpulan Cerpen Wengkay Korrie Layun Rampan 3. Pengertian Cerpen Cerpen Adalah Karangan Pendek Yang Berbentuk Prosa. Psikoanalisis sigmund freud pada antologi cerpen karya seno gumira ajidarma. jurnal bahas unimed, vol. Hal ini ,nenjadi tantangan bagi penulis cerpen, tak terkecuali yang sudah dimuat di kompas. Semua juri menyepakati macan menjadi cerpen terbaik. Cerpen Pelajaran Mengarang Merupakan Cerpen Terbaik Harian Kompas 1993. Kalian punya waktu 60 men. Peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia. Sinopsis cerpen dalam cerpen pelajaran mengarang ini, karya seno gumira ajidarma menceritakan tentang seorang anak perempuan bernama sandra. Dalam Cerpen Dipisahkan Sepenggal Kehidupan Tokoh, Yang Penuh Pertikaian, Peristiwa Yang Mengharukan Atau Menyenangkan, Dan Mengandung Kesan Yang Tidak Mudah Dilupakan.[1] Meski ceritanya pendek, sebuah cerpen yang. Harian kompas memilih cerita pendek macan karya seno gumira ajidarma sebagai cerpen terbaik kompas 2020. Interpretasi cerpen terbaik kompas 2020 berjudul ”macan” karya seno gumira ajidarma menjadi sebuah pementasan wayang, adegan teatrikal, dan tarian, yang digarap dalang wayang urban nanang hape. Pada Kumpulan Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma, Yang Kini Bergabung Menjadi Sebuah Karya Dengan Judul Trilogi Insiden, Yang Mencakup Saksi Mata, Jazz, Parfum, & Insiden, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Pada Kali Ini Penulis Hanya Berfokus Pada Pembahasan Kumpulan Cerpen Saksi Kumpulan Cerpen Ini. Ini adalah kali keempat cerpen seno terpilih sebagai cerpen terbaik kompas. Seno gumira ajidarma seorang cerpenis, esais, wartawan, dan pekerja teater. Posts tagged seno gumira ajidarma. Teluk Wengkay Korrie Layun Rampan 3. Saksi mata merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen saksi mata yang dikarang oleh seno gumira ajidarma. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku dengan kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak gadis berusia 12 tahun. Apa yang menarik dan mengapa mereka dipilih sebagai yang terbaik? ANALISISPERBANDINGAN DEKONTRUKSI DALAM CERPEN “PELAJARAN MENGARANG” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DAN “DEMI ANAKKU, AKU RELA MENJADI PELACUR” KARYA AUDA ZASCHKYA karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan tentang seorang anak perempuan bernama Sandra berusia 10 tahun yang Foto tangkapan layar cerpen "Musim Semi di Lisse" Karya Faris Faisal dimuat Pikiran Rakyat Sabtu, 31 Desember 2022Cerpen “Musim Semi di Lisse” karya Faris Al Faisal dimuat oleh harian Pikiran Rakyat pada Sabtu, 31 Desember 2022. Mulanya cerpen ini berkisah tentang seorang pemuda yang nampak dibuat kasmaran oleh seorang gadis yang memiliki kebiasaan unik memetik bunga tulip. Sejak awal diceritakan bahwa latar berlangsungnya cerita di sebuah kota bernama Lisse. Si Pemuda yang nampaknya sedang kasmaran itu selalu memperhatikan gerak-gerik Si Gadis Pemetik Bunga Tulip, dan memiliki keinginan untuk mengenal Si Gadis Pemetik Bunga Tulip lebih dekat lagi. Sejauh ini beberapa pembaca yang memiliki pengetahuan cukup dapat langsung menduga-duga bahwa Kota Lisse terletak di Belanda. Akan tetapi mungkin juga beberapa pembaca sama sekali belum mengetahui di mana letak Kota Lisse, dan mungkin juga pembaca memiliki pertanyaan apakah Lisse yang dimaksud penulis merupakan kota sungguhan yang memang keberadaanya konkret di dunia byata? Atau bahkan Lisse hanyalah sebuah kota imajinatif dalam bangunan pikiran penulis?Pertanyaan tersebut terjawab di bagian selanjutnya. Pertanyaan tentang Si Gadis Pemetik Bunga Tulip dan Kota Lisse akhirnya terjawab. Si Gadis Pemetik Bunga Tulip ini kemudian kita sebut Winda Kusuma, atau pendeknya Winda saja. Kemudian diketahui bahwa Winda dan Si Pemuda ternyata berasal dari Pulau Jawa, dengan kata lain mereka sama-sama orang Indonesia. Lalu terungkaplah latar belakang keluarga Winda dan hal yang membuat Winda berada di Lisse, dan tentunya letak Lisse yang sesungguhnya. Hal-hal tersebut dapat dibuktikan dengan penggalan alun-alun Kola Lisse, di bangku taman di bawah pohon maple besar, aku mendengarkan kisah-kisahnya, Winda Kusuma–aku pun baru tahu dugaanku, ia memang berasal dari Jawa, sepertiku. Tahun 1985 ayahnya migrasi ke Belanda. Bekerja sebagai sebagai tukang kebun di taman bagian ini keunggulan “Musim Semi di Lisse” mulai nampak. Bagian ini menceritakan bagaimana perjuangan ayah Winda bekerja keras sebagai seorang tukang kebun di taman Keukenhof sekaligus seorang imigran di Negeri Bunga Tulip, Belanda. Hal tersebut cukup menunjukan secara tersirat bahwa keinginan ayah Winda untuk merubah nasib di negeri orang agar mendapat kehidupan yang lebih layak, tetapi berujung “nol”. Keunggulan cerpen ini juga mulai nampak dengan pemenggalan bagian yang dilakukan penulis berhasil menghadirkan latar kejadian yang berbeda-beda dalam beangun yang bagian cerpen selanjutnya diceritakan bahwa Si Pemuda merupakan seorang dokter yang nasibnya berbanding terbalik dengan nasib yang dialami oleh ayah Winda yang hanya bekerja sebagai seorang tukang kebun sesampainya di Belanda. Hal ini menunjukan kesenjangan sosial yang mungkin memang terjadi di dunia nyata. Akan tetapi penulis melalui tokohnya berusaha untuk memutus kesenjangan tersebut. Bahkan sekalipun Si Pemuda ini tinggal di Luxury Apartement De Heerlijkheid Lisse’, Si Pemuda tetap tidak segan mengunjungi kios bunga tulip milik ayah bagian akhir yang menjadi pamungkas “Musim Semi di Lisse” secara jelas dan halus diberitahukan oleh penulis kepada pembaca bahwa kebiasaan ketimuran dalam hal ini menguping pembicaraan khas orang Indonesia masih sering terbawa ke dunia barat sekalipun dalam hal ini perantau di Lisse, bisa juga perantau negeri lain. Penulis cukup apik dalam mengemas cerita berlatar negeri yang mungkin jauh dari pembaca. Hal ini sedikit mengingatkan saya kepada puisi “Z” karya Goenawan Mohamad yang menjadikan Marly, Perancis sebagai latar penulis berhasil menggambarkan tidak mertanya kesejahteraan rakyat Indonesia bahkan setelah melakukan perantauan dengan maksud mengadu nasib dan berharap mendapatkan peruntungan yang lebih baik. Penulis juga menggambarkan habitus orang Indonesia dalam hal ini menguping pembicaraan yang baik disadari atau tidak seoalah-olah mengikuti kemanapun orang Indonesia kekurangan cerpen ini hanya terletak pada satu titik, yakni mengenai kesalahan tik. Pada bagian kedua cerpen tepatnya kalimat dugaanku, ia memang berasal dari Jawa, sepertiku. Tahun 1985 ayahnya migrasi ke Belanda. Bekerja sebagai sebagai tukang kebun di taman sebagai diulangi sebanyak dua kali menjadi sebagai sebagai, Mungkin saja memang penulis bermaksud untuk memberikan makna lain, tapi kemungkinan terdekat adalah kesalahan yang memang dilakukan tanpa unsur kesengaan. Mungkin juga kesalahan tik tersebut dilakukan oleh penyunting di harian Pikiran Rakyat. Terlepas dari problematika sebagai sebagai sebaiknya, penulis ataupun dari harian memberikan catatan kaki jika memang ada kata-kata yang sengaja disalahkan pengetikannya. Seperti pada kumpulan cerpen “Senja Untuk Pacarku” karya Seno Gumira Ajidarma yang tak segan membubuhkan catatan kaki dari kata-kata yang memiliki maksud khusus dan kata-kata yang dicatut dari karya lain. DALAMCERPEN “TELINGA”, “MARIA”, DAN “KEPALA DI. PAGAR DA SILVA” KARYA SENO . GUMIRA AJIDARMA SERTA IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA (Sebuah . Kajian . Mimetik) Skripsi. Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. u. ntuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan. Oleh. Miftah. Falakhi. 1110013000046
Jakarta - Seno Gumira Ajidarma adalah seorang penulis yang memiliki ciri khas tersendiri karena gaya penulisan yang digunakan Seno Gumira Ajidarma ini terbilang unik, siapapun yang membaca karya beliau entah itu novel ataupun cerpen pasti setuju dengan ini. Semua karya beliau selalu meninggalkan pesan yang mendalam kepada pembaca sehingga siapapun yang membaca tulisan beliau akan langsung mengenal bahwa karya tersebut ditulis olehnya. Karya yang dibuat oleh Seno Gumira Ajidarma tidak terlepas dari kritik terhadap kekuasaan, politik, dan bahkan kritik sosial masyarakat yang terjadi. Tema-tema yang diangkat oleh Seno Gumira Ajidarma juga membahas realitas sosial yang terjadi di masyarakat, seperti korupsi, perbedaan kelas sosial, dan bahkan ketamakan manusia. Seno Gumira Ajidarma berhasil untuk mengembangkan suatu permasalahan menjadi suatu bacaan yang kompleks dan berkualitas sehingga membuat pembaca secara tidak sadar untuk berpikir kritis dan menilainya. Setiap cerpen yang ia buat juga digambarkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini yang menjadi keunggulan karya beliau, walaupun digambarkan dengan sederhana, namun seperti mengajak para pembaca untuk masuk dalam dunia ceritanya lewat rangkaian konflik yang disusun. Sebuah karya sastra lahir dari pengamatan penulis, dengan sederhananya karya sastra tersebut merupakan bentuk keterlibatan pengarang terhadap kehidupan masyarakatnya. Pendekatan sosiologi sastra beranggapan bahwa sastra tersebut mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan, salah satunya adalah realitas sosial dan kritik yang terjadi pada cerpen “Menunggu Kematian Paman Gober” karya Seno Gumira bercerita melalui medium visual, menjadi alasan Lydia Isnanto menekuni dunia film. Sejak empat tahun lalu, Lydia pindah ke AS dan menetap di Austin, Texas. Ia telah memproduksi dua film pendek bertema Kesehatan mental yang telah meraih b...Ilustrasi membaca, buku. Photo Copyright by FreepikCerpen “Menunggu Kematian Paman Gober” berkisahkan mengenai suasana kehidupan di Kota Bebek yang dipimpin oleh Paman Gober. Paman Gober ini digambarkan sebagai sosok yang kaya raya dan berkuasa, tetapi sangat pelit dan kejam. Tetapi, herannya ia menjadi tokoh yang sangat dicintai. Kematian Paman Gober ini tampaknya telah ditunggu-tunggu oleh warga Kota Bebek. Paman Gober dinilai telah terlalu lama berkuasa, dan walaupun sudah sangat tua, ia tidak ada tanda-tanda untuk mengundurkan diri. Paman Gober digambarkan sebagai orang tidak mengenal belas kasihan. Ia selalu mengancam siapapun yang berani mengkritiknya, maka dari itu hampir tidak ada yang berani untuk mengkritik dirinya. Banyak cara yang telah dilakukan, namun entah mengapa ia terpilih lagi untuk menjadi seorang pemimpin seolah-olah seperti tidak ada calon yang lain lagi. Akhirnya, warga Kota Bebek menyerah dan yang dilakukannya setiap hari adalah menunggu kematian Paman Gober, karena mereka berpikir hanya kematianlah yang mampu menghentikan Paman Gober, setiap hari mereka menunggu dan berharap saat itu akan Cerpen Menunggu Kematian Paman Gober, Representasi Orde BaruIlustrasi membaca sinopsis, buku. Photo by Nathan Aguirre on UnsplashKarya sastra merupakan realitas dan keterlibatan pengarang terhadap kehidupan masyarakatnya. Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen ini pada tahun 1994, yaitu pada zaman Orde Baru. Pada saat itu, Soeharto menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Soeharto juga menjabat selama 32 tahun sebagai Presiden, dan itu bukan waktu yang sebentar. Persoalan utama yang dibahas dalam cerpen adalah mengenai kepemimpinan yang tidak berganti dengan alasan bahwa ia pun tidak menolak jika diberi kehormatan. Namun, hal tersebut menimbulkan pro dan kontra oleh masyarakat. Sebagian masyarakat banyak yang memandang sinis dan tidak suka, oleh karena itu Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen ini, cerpen yang memusatkan pada pandangan masyarakat pada zaman Orde Baru. Realitas masyarakat pada saat itu tidak berani untuk memprotes atau mengutarakan pendapat karena adanya ancaman dan intimidasi dari pemerintah, bahwa siapa saja yang pada saat itu berani untuk mengkritik dan mempertanyakan kebijakan pemerintah, akan ada akibat yang ia dapat. Hal itu tertulis jelas pada percakapan dalam cerita pendek berikut ini. “Kamu bebek tidak tahu diri, sudah dibantu masih meleter pula.” “Apakah saya tidak punya hak bicara?” “Punya, tapi asal jangan meleter, nanti kamu kusembelih.” Soeharto Metafora Paman Gober, Benarkah?Soeharto, lahir 8 Juni 1921, sosok presiden yang mendapat julukan bapak pembangunan itu tak lepas dari kontroversi. Dimasa kejayaannya Soeharto begitu disegani di ASEAN IstimewaDalam cerpen ini, dijelaskan bahwa ancaman digunakan oleh pemerintah untuk membungkam masyarakat dalam mengkritisi kebijakan pada masa pemerintahan Orde Baru. Masyarakat juga memilih diam untuk menyelamatkan dirinya sendiri, sambil menunggu perubahan yang akan terjadi dalam lima tahun sekali. Tetapi hal itu tentunya tidak pernah terjadi, karena seperti yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya “Menunggu Kematian Paman Gober”, pemilihan umum pemilu ini sudah direncanakan dan bersifat pura-pura tidak bersifat demokratis, oleh karena itu masyarakat yang sudah sangat jenuh dengan kondisi pemerintahan hanya menginginkan suatu berita yaitu kapan Paman Gober meninggal dunia. Hal ini selalu ditunggu oleh warga bebek, ketika membaca koran pada pagi hari. Kisah yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, walaupun setting yang digambarkan adalah dunia unggas, namun secara jelas menggambarkan tokoh Soeharto. Cerpen ini sebenarnya adalah sebuah kritik, walaupun tidak terlalu liar dan vulgar karena penulis menggambarkannya dalam tokoh binatang. Tetapi, siapapun yang membacanya pasti seketika mengetahui sosok yang menjadi tujuan dalam cerpen Polemik Soeharto Guru Korupsi Vs Bapak Pembangunan. Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Cerpen"Pada Suatu Hari Minggu" karya Seno Gumira Ajidarma memiliki nilai moral yang dapat kita petik, di antaranya: adanya suatu kedisiplinan kita untuk menghargai waktu. Dalam cerpen ini, pengarang memberi nilai lebih pada hari Minggu.
Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng. “Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya. Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar. ”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?” Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air. Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air. Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri. ”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.” Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar. Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar. Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan. Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi. ”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka. Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya. ”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, "dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan ?” Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya. Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar. Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air. ”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu. _______________________________________________ Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala. ”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?” Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan. Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu. ”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik. Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa! ”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.” Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar. Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu. Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri! ”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik. Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi. ”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi. Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar. Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar. ”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu. Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar. Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak. ”Guru! Lihat!” Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air! Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak. ”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”.
DuniaSukab merupakan kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang sebelumnya pernah dicetak di beberapa surat kabar dan majalah seperti Kompas, Horison, Republika, dsb. Buku ini terbagi menjadi 3 Bab dan Oleh SENO GUMIRA AJIDARMA, 1 Maret 2020 Malam berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada karena titik-titik hujan pada setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan sehingga pendengaran mereka teralihkan. Ilustrasi cerpen Minggu 1/3/2020 karya Ledek Sukadi untuk cerpen Seno Gumira. Malam berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada karena titik-titik hujan pada setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan sehingga pendengaran mereka teralihkan. Apalagi jika manusia ini alih-alih memburu dirinya, malah bercakap-cakap sendiri, mungkin untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan tanpa rembulan. Ia merunduk di balik semak, antara bersembunyi tetapi juga siap menerkam. Iring- iringan manusia berjalan berurutan di jalan setapak di bawahnya. Di sisi lain jalan terdapatlah jurang berdinding curam yang menggemakan arus sungai di dasarnya. Suara arus tentu lebih mengalihkan perhatian. Gemanya bahkan membuat mereka harus berbicara cukup keras. ”Hujan begini Simbah tidak ke mana-mana kan?” ”Oooh kurasa hujan seperti ini tidak banyak artinya untuk Simbah, justru ini saatnya keluar untuk mencari mangsa yang menggigil kedinginan.” ”Berarti mangsanya itu kamu!” ”Huss!” ”Ha-ha-ha-ha!” ”Ha-ha-ha-ha!” ”Ha-ha-ha-ha!” Baginya ini hanya suara-suara karena ia memang tidak mengerti bahasa manusia. Namun, ia memang bisa memangsa salah seorang di antaranya. Ada sebuah celah di antara dua pohon besar di ujung jalan setapak ini, yang membuat mereka harus berhenti sejenak ketika satu per satu melewatinya. Setelah melangkahi akar-akar yang besar, setiap orang akan menghilang di baliknya. Akar- akar pohon sebesar itu memang tidak bisa dilangkahi, akar-akar itu harus dipanjati, seperti memanjat pagar tinggi lantas menghilang di baliknya dan tidak terlalu mudah untuk segera kembali lagi. Itulah saat terbaik untuk menerkam manusia yang paling belakang. Membuatnya terjatuh dan menggigit lehernya sampai lemas dan mati. Itu tidak dilakukannya. Untuk sekadar membunuh ia cukup muncul dan menggeram. Melihatnya menyeringai, manusia yang terkejut dan melangkah mundur akan terperosok dan melayang jatuh ke dasar jurang tanpa jeritan. Ini juga tidak dilakukannya. Ia hanya merunduk dan mengintai. Ia tidak berminat membunuh manusia, bahkan tidak satu makhluk pun, selain yang dibutuhkannya untuk menyambung kehidupan—dan saat ini ia tidak kelaparan karena sudah memangsa seekor kancil tadi siang. Kancil bodoh itu seperti lupa bau kencing pasangannya, bapak anaknya, yang pada setiap sudut menandai wilayah mereka. Adalah wajar bagi mereka untuk memangsa makhluk apa pun yang memasuki wilayahnya. Dengan hukum itulah, nasib sang kancil sudah ditentukan. Sebetulnya sudah lama bagaikan tiada makhluk apa pun akan memasuki wilayah mereka itu. Tidak babi rusa, tidak kijang, tidak pula burung-burung dan serangga. Pasangannya mesti mencari mangsa ke luar wilayah, begitu jauhnya sampai keluar dari hutan. ”Kambing kita lama-lama bisa habis dimakan Simbah,” kata salah seorang. Namun bukanlah ketakutan atas habisnya kambing, yang membuat orang-orang kampung masuk hutan mencarinya. Pada suatu hari pasangannya muncul dari dalam hutan di tepi ladang. Langsung didekatinya sesuatu di atas tikar, sesuatu di balik kain yang bergerak-gerak. Bagi makhluk besar yang lapar, makhluk kecil bisa terlihat sebagai santapan. Lantas terlihat olehnya bayi manusia itu. Menatapnya sambil tertawa-tawa. Hanya makhluk manusia yang bisa tertawa di dunia ini, dan itu membuatnya tertegun. Saat itulah dari tengah ladang mendadak terdengar suara bernada tinggi yang disebut manusia sebagai jeritan. Malam tanpa rembulan semakin kelam. Hujan tidak menderas tetapi tidak juga mereda. Ia memperhatikan orang-orang itu menjauh. Mereka semua, dua belas orang bercaping maupun berpayung daun pisang membawa tombak dan parang serba tajam. Keriuhan mereka tidak akan menghasilkan tangkapan apa pun karena tiada seorang jua dari mereka adalah pemburu. Ia tahu bukan orang-orang itu yang menjadi penyebab kematian pasangannya, melainkan pemburu yang masuk sendirian ke dalam hutan tanpa suara meski tubuhnya penuh senjata. Tombak di tangan, parang dalam sarung di punggung, pisau belati di pinggang kanan, dan umban di pinggang kiri. Pemburu itu bahkan tidak bergumam. Membaca jejak di tanah, berjalan melawan arah angin, makan seperlunya dan tidak memasak di dalam hutan. Jika mulutnya bergerak- gerak barangkali mendesiskan rapalan. Tentu pemburu itu telah melacak jejak semalaman ketika dengan tiada terduga, tetapi penuh rencana, muncul di depan gua batu tempat ia sedang menyusui anaknya. Ia segera menggeram dan berdiri melindungi anak jantannya. Pasangannya bahkan melompat dan menerjang ke arah pemburu itu, tetapi makhluk yang disebut manusia ternyata tidak hanya bisa tertawa, tetapi pandai memainkan tipu daya. Sangatlah mudah bagi pasangannya untuk menyusul pemburu itu ke tepi hutan, menyeberangi ladang, dan siap menerkamnya di tengah lapangan, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menggeram-geram ketika ternyata muncul puluhan manusia mengepung sembari mengacung-acungkan tombak bambu ke arahnya. Pasangannya mencari celah, berputar-putar dalam kepungan yang semakin merapat, sampai hampir semua tombak itu menembus kulit lorengnya. ”Akhirnya!” Orang-orang berteriak lega atas nama keselamatan anak manusia, kambing, sapi, ataupun kerbau mereka, meski dalam kenyataannya kambing, sapi, dan kerbau di kampung itu lebih sering diambil, dibantai, dan dikuliti di kandangnya sendiri oleh para bapa maling berkemahiran tinggi. Kawanan bapa maling datang lewat tengah malam mengendarai mobil boks. Dengan mantra dalam campuran bahasa asing dan bahasa daerah yang tidak pernah digunakan lagi, mereka menyirep seisi rumah yang di kampung itu jaraknya saling berjauhan. Pagi harinya hanya tinggal isi perut ternak berserakan dengan bau anyir darah di mana-mana. Kambing yang diterkam penghuni rimba jumlahnya tidak seberapa dibanding pencurian ternak dengan mobil boks. Itu pun bisa terjadi karena kelalaian pemiliknya, jika tidak pintu kandang terbuka, sering diikat begitu saja di luar kandang, sehingga menjadi sasaran empuk makhluk pemangsa dari masa ke masa. Bahwa bayi manusia seperti akan menjadi mangsa itulah yang mengubah segalanya. ”Akhirnya terbunuh Si Embah ini!” ”Selesai sudah!” ”Belum …” Pemburu itu tidak berteriak, tetapi pengaruhnya lebih besar dari segala teriakan. ”Belum? Kita baru saja merajamnya begitu rupa sampai kulitnya tidak bisa kita jual.” ”Masih ada betinanya….” Semuanya ternganga. ”…dan masih ada anaknya.” Saat pasangannya itu tewas oleh puluhan bambu tajam, ia yang ternyata mengikuti dari belakang dapat menyaksikan dari kejauhan. Saat itu tidak ada satu pun di antara para manusia melihat ke arahnya. Tanpa bisa memberi bantuan, ia hanya berjalan mondar- mandir dengan gelisah. Ia masih berada di sana ketika menyaksikan betapa orang-orang kampung itu tetap menguliti pasangannya, dan membawanya pergi dengan mempertahankan agar kepalanya tetap tersambung pada kulit loreng tubuhnya. Katanya bisa menjadi hiasan dinding kantor kelurahan. ”Kita harus membunuh juga betinanya, ia pasti juga akan mencari mangsa di kampung kita!” ”Anaknya juga harus kita bunuh, kalau tidak tentu setelah dewasa membalas dendam!” Ia memang tidak memahami bahasa manusia, baginya itu hanya berarti suara-suara, tetapi nalurinya dapat merasakan ancaman. Kini dalam kelam berhujan, ia mengawasi orang-orang yang memburu dirinya itu dari suatu jarak tertentu. Ia telah memindahkan anaknya ke goa lain yang sama hangatnya pada malam hari, dan karena itu ia tidak perlu khawatir mereka akan menemukannya. Pemburu itu mungkin akan bisa, tetapi tidak malam ini, karena belum tahu bahwa goa yang ditemukannya sudah kosong. ”Betinanya baru saja beranak, dan anaknya masih terhuyung-huyung kalau berjalan….” Pemburu itu memberi petunjuk ke mana orang-orang kampung bisa menyergap makhluk pemangsa yang terandaikan bisa membalas dendam. ”Anakku sakit panas,” katanya memberi alasan. Dalam hatinya ia sudah bosan bekerja tanpa bayaran. Demikianlah rombongan orang-orang bertombak yang bercaping ataupun berpayung daun pisang muncul di ujung jalan setapak di tepi jurang ketika ia berada dalam perjalanan memburu pemburu. Ia merunduk di balik semak, membiarkan mereka lewat, dan membuntutinya sejenak untuk memastikan arahnya. Ia tidak membunuh seorang pun. Setibanya di kampung yang gelap dan sunyi di malam berhujan tanpa rembulan, sembari melangkah tanpa suara, terendus olehnya aroma pemburu yang tengik itu dibawa angin dari sebuah rumah terpencil. Sebuah rumah yang sengaja berjarak dan menjauhkan diri karena penghuninya yang selalu berikat kepala kusam merasa berbeda dari para petani bercaping. ”Orang-orang dungu,” pikirnya selalu. Terdengar tangis bayi yang tak kunjung berhenti. ”Panasnya belum juga turun, coba ambilkan air yang lebih dingin dari sumur, handuk ini seperti baru tercelup air rebusan,” ujar perempuan yang sedang menjaram anaknya itu. Jawabannya adalah desahan malas, disusul derik balai-balai bambu. Kemudian pintu rumah kayu itu terbuka. Dari dalam membersit cahaya lentera. Seorang lelaki berikat kepala dengan bau tubuh yang tengik berlari kecil ke arah sumur sambil membawa baskom. Hujan belum berhenti ketika ia meluncurkan ember pada tali timba ke bawah dan mengereknya kembali ke atas secepat-cepatnya. Dalam kesibukan seperti itu pun, kepekaannya sebagai pemburu tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali timba dan membalikkan badan secepatnya. Namun, kali ini sudah terlambat. Seno Gumira Ajidarma, lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Kini menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta IKJ. Seno lebih dikenal setelah menulis trilogi karyanya tentang Timor Timur, yakni Saksi Mata 1994, kumpulan cerpen, Jazz, Parfum, dan Insiden 1996, novel, serta Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara 1997, kumpulan esai. Ledek Sukadi, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 19 Oktober 1969. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta. Ledek antara lain menerima penghargaan dari Pemerintah Kyoto, Jepang 1992, dan memenangi gelar lukis akbar di Candi Borobudur 1994
  1. Σуπኟσ θпраጸοռ
    1. Σи ըвсещи ևшαжը
    2. Օհοсвጮмеδθ еሰυв иቧሤч
    3. Сл ቨкукрըгուв ኀኒ
  2. Меւե ኆջоτո
    1. Աкеኖመвεтв у ዔа
    2. Орևպιсу ኅпрօхр ኅфሕμелиዐ ኜ
onJanuary 09, 2018. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, merupakan cerpen unggulan dalam 13 cerpen yang mengisi karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen yang menurutku, mewakili keseluruhan cerpen di buku yang sebagian besar bertujuan untuk mengkritisi kondisi politik sosial dalam diri bangsa. Tentang ketidakbebasan berpendapat,
Cerpen Seno Gumira Ajidarma. Pengertian cerpen cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Agaknya nenek itu sengaja membawa gadis manis cucunya itu kesini untuk. Cerpen Seno Gumira Ajidarma Gambaran from Saksi mata ditulis sga berdasarkan keterangan para korban dan saksi mata atas insiden dili, 12 november 1991 yang terjadi di timor timur. Teluk wengkay korrie layun rampan 3. Ibu guru tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. 2007, Cerpen, Cerpen Pilihan Kompas, Cinta, Senja, Senja Di Kaca Spion, Seno Gumira Ajidarma Matahari Tidak Pernah Terbenam Di Negeri SenjaSeno Gumira Ajidarma, Baca Artikel Ini Dan Artikel Lainnya Dengan Daftar Akun Itu Berjudul “Dunia Gorda”.Ketika Membaca Kumpulan Cerpen Seno Gumira Ajidarma Sga Dalam Buku Kumpulan Cerpen 2007, Cerpen, Cerpen Pilihan Kompas, Cinta, Senja, Senja Di Kaca Spion, Seno Gumira Ajidarma Matahari Tidak Pernah Terbenam Di Negeri Senja Cintaku jauh di komodo seno gumira ajidarma berikut ini naskah cerpen cintaku jauh di komodo karya seno gumira ajidarma yang saya salin sesuai dengan naskah aslinya yang dimuat di harian kompas bulan agustus tahun 2003. Pengertian cerpen cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. lahir 19 juni 1958 adalah penulis dan ilmuwan sastra indonesia. Seno Gumira Ajidarma, Dilarang menyanyi di kamar mandi. Saksi mata merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen saksi mata yang dikarang oleh seno gumira ajidarma. Dodolitdodolitdodolitbret karya seno gumira ajidarma, cerpen terbaik pilihan kompas 2010 […] tak ada yang baru di bawah matahari boneka ketujuh. Lanjutkan Baca Artikel Ini Dan Artikel Lainnya Dengan Daftar Akun Kompas kring +6221 2567 6000. Saksi mata ditulis sga berdasarkan keterangan para korban dan saksi mata atas insiden dili, 12 november 1991 yang terjadi di timor timur. Kalian punya waktu 60 menit”, ujar ibu guru tati. Cerpen Itu Berjudul “Dunia Gorda”. Beberapa buku karyanya adalah atas nama malam, wisanggeni—sang buronan, sepotong senja untuk pacarku, biola tak berdawai, kitab omong kosong, dilarang menyanyi di kamar mandi, dan negeri senja. Seno gumira ajidarma dilahirkan di boston pada tanggal 19 juni 1958 dan dibesarkan di yogyakarta. Seno gumira ajidarma seorang cerpenis, esais, wartawan, dan pekerja teater. Ketika Membaca Kumpulan Cerpen Seno Gumira Ajidarma Sga Dalam Buku Kumpulan Cerpen Telaah cerpen “clara” karya seno gumira ajidarma menggunakan pendekatan objektif a. Pada tahun 1977 seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar merdeka. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Judulbuku: Penembak Misterius Penulis: Seno Gumira Ajidarma Kategori: Kumpulan Cerpen Penerbit: Galangpress ISBN : 979-95690-5-2 Cetakan 4: 2007 Tebal : viii + 214 halaman Secara garis besar, cerpen-cerpen Seno di buku ini mengangkat realitas sosial dan politik di sekitar kita. Kumpulan cerpen horor kontemporer karya Ken Hanggara dkk Biografi sastrawan Seno Gumira Ajidarma menarik untuk dibahas mengingat banyaknya karya yang telah ia ciptakan. Karya-karya itu telah mengantarkannya meraih sejumlah penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Dan menariknya lagi, pengarang yang mengawali kariernya sebagai seorang wartawan ini enggan disebut sastrawan dan pernah menolak penghargaan di bidang sastra, lho! Kenapa, ya? Untuk mengetahuinya, simak kisah perjalanan karier lengkap Seno Gumira Ajidarma di bawah ini!Siapa yang tak mengenal sastrawan-sastrawan kenamaan seperti Chairil Anwar, WS Rendra, dan Sapardi Djoko Damono? Selain nama-nama tersebut, ada satu lagi pengarang terkenal yang perlu kamu ketahui biografi dirinya, yaitu Seno Gumira Seno Gumira Ajidarma di dunia literasi Indonesia tentulah sudah tidak diragukan. Memulai proses kreatif sejak berusia 17 tahun, pria kelahiran 19 Juni 1958 ini tercatat telah banyak menelurkan karya tulisan, baik fiksi maupun banyak menulis puisi, cerpen, novel, serta esai yang dimuat di surat kabar dan diterbitkan dalam buku antologi. Tak sedikit pula cerpen karyanya yang menerima penghargaan dari dalam hingga luar begitu, pengarang yang dikenal dengan nama samaran Mira Sato ini justru menolak disebut sebagai seorang sastrawan. Ia memilih disebut sebagai wartawan, karena menurutnya kata itu lebih mampu mewakili profesinya, yaitu seorang penulis. Sepanjang kariernya, ia tak hanya hadir menyuguhkan karya sastra, tetapi juga terlibat dalam penulisan kreatif lainnya. Salah satunya ialah ketika ia dipercaya bergabung dengan tim penulis skenario untuk film Wiro Sableng 212 2018. Penasaran ingin tahu kisah perjalanan hidup dan kariernya secara lengkap? Jangan khawatir, KepoGaul telah merangkum biografi Seno Gumira Ajidarma di artikel ini. Simak baik-baik, siapa tahu kamu dapat meneladani sosoknya. Selamat membaca! Sumber Twitter – thebookseller Hal pertama yang perlu kamu tahu dari biografi Seno Gumira Ajidarma adalah seputar kehidupan pribadi dan pendidikannya. Kamu bakal kaget sekaligus kagum karena ternyata ia pernah “nakal” sewaktu remaja. Untungnya, kenakalannya tidak berlangsung lama dan ia segera kembali fokus mengenyam pendidikan sekaligus menekuni dunia tulis-menulis. Untuk mengetahui detail yang lebih lengkap, berikut informasinya. 1. Kehidupan Masa Kecil Seno Gumira Ajidarma ialah putra dari pasangan Prof. Dr. Sastroamidjojo dan dr. Poestika Kusuma Sujana. Ia lahir di Boston, Amerika Serikat tanggal 19 Juni 1958, tetapi tumbuh dan besar di Yogyakarta. Sejak muda, ia telah mengenal kesusastraan dan banyak membaca buku-buku kisah petualangan. Salah satu karya yang disukainya adalah cerita tentang suku Apache karya Karl May yang mengisahkan petualangan tokoh bernama Old Shutterhand. Kisah Old Shutterhand sanggup memengaruhi Seno Gumira. Sampai-sampai, gara-gara membacanya ia jadi ikut-ikutan berpetualang, mengembara ke Jawa Barat hingga Sumatera. Demi petualangannya, ia bahkan menolak melanjutkan SMA. Selama mengembara sekitar 3 bulan, ia sempat bekerja sebagai buruh pabrik kerupuk di Medan karena kehabisan uang. Di masa sulitnya itu, Seno menghubungi sang ibu untuk meminta uang. Alih-alih memberikan uang pada putranya, sang ibu malah mengirimkan tiket pulang. Mau tak mau, penulis cerita Sepotong Senja untuk Pacarku 2002 ini pun kembali ke Yogyakarta. Ia kemudian masuk ke SMA Kolese De Britto, sekolah swasta yang membebaskan siswanya untuk tidak mengenakan seragam. Baca juga Biografi Sapardi Djoko Damono, Sang Pujangga Sederhana Asal Solo 2. Masa Pencarian Identitas Biografi masa remaja Seno Gumira Ajidarma cukup menarik untuk dibahas lebih jauh. Layaknya kebanyakan remaja pada umumnya, ia pernah salah memilih teman bergaul meski tidak sampai terjerumus dalam pergaulan bebas. Kala itu, ia kerap ikut tawuran dan kebut-kebutan di jalan. Ia lebih banyak bergaul dengan anak-anak jalanan ketimbang teman-temannya yang tinggal di sekitar kediamannya di kawasan Bulaksumur UGM Universitas Gadjah Mada. Suatu kali dalam sebuah wawancara, ia pernah mengakui kenakalannya dikarenakan dirinya sedang berada di masa pencarian identitas. Pencarian identitasnya baru berhenti setelah ia mengenal sosok sastrawan WS Rendra. “Saat remaja, orang akan mencari identitas, ada yang berkelahi, ngebut, menjadi modis, dan lain-lain sebagainya,” ujarnya kepada White Board Journal tahun 2016. “Pencarian identitas saya berhenti ketika saya menonton Rendra. Seketika itu, entah kenapa saya langsung saya ingin jadi seperti beliau.” Baca juga Biografi Raden Patah, Keturunan Raja Majapahit yang Menjadi Pendiri Kesultanan Demak 3. Kuliah dan Menikah Sang maestro literasi kontemporer ini hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Tahun 1977, ia diterima masuk di Jurusan Sinematografi Institut Kesenian Jakarta IKJ yang kala itu masih bernama Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta LPKJ. Pada 1981, Seno yang saat itu bekerja sebagai wartawan memutuskan untuk menikah dengan wanita bernama Ikke Susilowati. Dari pernikahan ini, keduanya dikaruniai seorang putra yang diberi nama Timur Angin. Di sela kesibukannya bekerja dan berkarya, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan formal. Pengarang novel pentalogi Nagabumi sejak 2009 ini berhasil merampungkan S1-nya di IKJ dan lulus tahun 1994, kemudian meraih gelar Magister Ilmu Filsafat 2000 dan Doktor Ilmu Sastra 2005 dari Universitas Indonesia UI. Awal Mula Terjun ke Dunia Sastra Sumber Twitter – ubudwritersfest 1. Proses Kreatif Dimulai setelah Mengenal Teater Berbicara mengenai biografi Seno Gumira Ajidarma, kamu tentu penasaran bagaimana awal mulanya terjun ke dunia sastra. Rupanya, ia lebih dulu berkenalan dengan teater sebelum menekuni dunia yang membesarkan namanya. Proses kreatif sang sastrawan bermula sewaktu memasuki usia 17 tahun. Kala itu, ia bergabung dengan kelompok sandiwara bernama Teater Alam yang dipimpin oleh Azwar selama kurang lebih 2 tahun. Selama menjadi anggota Teater Alam, Seno rajin menulis dan mengirimkan karya berupa puisi maupun cerpen ke media-media cetak. Ia menjadikan Remy Silado dan Rendra sebagai motivator sekaligus inspirator baginya dalam berkarya. “Waktu itu, teater asing buat saya. Dan drama, saat itu kita tahu hanya hadir saat perayaan 17-an saja. Salah satu drama Rendra yang saya tonton adalah Mastodon dan Burung Kondor, karena judulnya yang unik. Sejak itu, nama Rendra itu semakin terdengar oleh saya,” kata Seno Gumira Ajidarma ketika diwawancara White Board Journal. Baca juga Biografi Tung Desem Waringin, Sang Motivator Kondang Pencetak Rekor MURI 2. Jadi Wartawan Demi Tetap Menulis Seno Gumira Ajidarma memulai kariernya di bidang jurnalistik tahun 1977 sebagai wartawan lepas untuk harian Merdeka, kemudian bekerja di majalah kampus Cikini 1980 dan Jakarta Jakarta 1985–1992. Ia pernah pula menjabat sebagai pemimpin redaksi di Sinema Indonesia dan redaktur di majalah mingguan Zaman 1983–1984. Tahun 1992, Seno sempat menganggur lantaran majalah Jakarta Jakarta berhenti terbit. Positifnya, ia jadi punya waktu kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan pendidikan S1 yang sebelumnya sempat tertunda. Kendati sibuk kuliah, pria yang lahir di Boston ini tetap aktif sebagai jurnalis dan diperbantukan menjadi wartawan di tabloid Citra. Tak lama kemudian, ia kembali bekerja di Jakarta Jakarta pada akhir 1993. Barangkali, waktu yang dihabiskannya selama menjadi wartawan amat berarti bagi Seno. Bahkan, ia kerap menolak jika disebut sebagai sastrawan walaupun punya banyak karya karena menurutnya kata itu kurang mewakili profesinya. “Wartawan bisa menulis, kan? Jadi wartawan itu seolah-olah bisa mewakili semuanya,” tuturnya ketika diwawancara BBC tahun 2012. Baca juga Biografi Bob Sadino, Pengusaha Sukses yang Memulai Usaha dari Telur Ayam Negeri Koleksi Karya Fiksi dan Nonfiksi Sumber Twitter – kedaiboekoe Artikel biografi ini memaparkan pula karya-karya Seno Gumira Ajidarma yang sebagian besar berbicara mengenai politik dan kemanusiaan. Akan tetapi, tak sedikit pula karyanya yang bertemakan cinta dan kehidupan. Walau begitu, ia mengaku tidak memiliki pakem tertentu dalam berkarya. Seno lebih nyaman menulis sesuatu sesuai dengan kebutuhan, tergantung kepada siapa karyanya ditujukan. Misalnya, ia akan menulis dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti jika karyanya ditujukan untuk kepentingan banyak orang. “Itu tergantung kebutuhan. Kalau kebutuhannya adalah ide-ide saya pribadi, ya saya tidak peduli dimengerti atau tidak,” katanya kepada BBC 2012. “Tapi kalau urusannya persoalan orang banyak, demi kepentingan orang banyak, maka saya tentu menggunakan bahasa yang sebisa mungkin pasti dimengerti.” Yang jelas, tulisannya terbagi menjadi karya fiksi dan nonfiksi, semisal cerpen, novel, hingga esai. Daripada kamu penasaran, langsung saja intip keterangan seputar tulisan-tulisan Seno berikut ini! Baca juga Biografi Pangeran Antasari, Pahlawan Banjar yang Berusaha Mengusir Belanda dari Kampung Halamannya 1. Tulisan Fiksi a. Puisi dan Cerpen Seno Gumira Ajidarma pertama kali melahirkan karya berupa puisi yang dimuat di majalah Aktuil pada awal 1970-an. Semenjak itu, ia rajin menulis dan mengirimkan puisi-puisi di media cetak. Ratusan puisinya pun telah dirangkum dalam antologi, di antaranya yang berjudul Mati Mati Mati 1975; Bayi Mati 1978; dan Catatan-Catatan Mira Sato 1978. Adapun cerpen karyanya yang diterbitkan, tak sedikit pula jumlahnya. Sebagian besar dikumpulkan dalam beberapa buku antologi cerpen, sebut saja Manusia Kamar 1988; Saksi Mata 1994; Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi 1995; serta Sepotong Senja untuk Pacarku 2002. Dari daftar di atas, Manusia Kamar pernah dicetak ulang pada tahun 2000 dengan judul Matinya Seorang Penari Telanjang. Sementara itu, karyanya yang berjudul Saksi Mata dan Negeri Kabut 1996, masing-masing diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Eye Witness oleh Jan Lingard dan The Land of Mists oleh Tim Kortschak. Kedua cerpen tersebut pun tidak hanya diterbitkan di buku antologi, tetapi juga di biografi bertajuk Sastrawan Indonesia Seno Gumira Ajidarma, Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 1997. Hebat sekali, bukan? Lanjutkan membaca jika ingin tahu tentang karyanya yang lain! Baca juga Biografi Dewi Sartika, Sang Pejuang Hak-Hak Kaum Perempuan dari Priangan b. Komik dan Novel Awal 2000-an, Seno melebarkan sayap di dunia kepenulisan dengan mencipta komik. Beberapa komik yang pernah diterbitkan antara lain, Jakarta 2039, 40 Tahun 9 Bulan setelah 13—14 Mei 1998 2001; Taxi Blues 2001; dan Sukab Intel Melayu Misteri Harta Centini 2002. Di sisi lain, novel-novel karyanya juga terbilang fenomenal di kalangan pencinta sastra. Sebut saja Jazz, Parfum, dan Insiden 1996; Kitab Omong Kosong 1994; Biola Tak Berdawai 2004; Kalatidha 2007; Wisanggeni Sang Buronan 2000; dan Nagabumi I Jurus Tanpa Bentuk 2009. Berbeda dengan novel lain, Nagabumi merupakan cerita berseri yang diluncurkan bertahap. Tahun 2019, novel tersebut hadir dengan jilid ketiga berjudul Nagabumi III Hidup dan Mati di Chang’an. Sementara itu, jilid keduanya diberi judul Nagabumi II Buddha, Pedang dan Penyamun Terbang, dan dirilis pada 2011. c. Naskah Skenario Asal kamu tahu, pengarang serba bisa ini juga beberapa kali menulis naskah pertunjukan. Naskahnya berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami 2001 pernah dipentaskan dua kali di dua lokasi berbeda. Pertama di Taman Ismail Marzuki TIM Jakarta pada 6–8 Agustus 2001, selanjutnya di Taman Budaya Yogyakarta tanggal 16–18 Agustus 2001. Ia tercatat pula menulis naskah drama lain berjudul Pertunjukan Segera Dimulai 1976. Pada 1999, ia menulis naskah untuk Clara yang diadaptasi dari cerpen berjudul sama. Cerpen itu sebelumnya sudah dimuat di antologi Iblis Tak Pernah Mati 1999. Selain naskah drama, Seno Gumira Ajidarma dilibatkan pula dalam penulisan skenario film Wiro Sableng 212 2018 garapan Lifelike Pictures. Cerita dalam film ini didasarkan pada karakter pendekar bernama Wiro Sableng di novel seri karya Bastian Tito. Baca juga Biografi Mahatma Gandhi, Sang Pejuang Kemerdekaan Anti-Kekerasan 2. Tulisan Nonfiksi Tak hanya karya fiksi, melalui artikel biografi ini, kamu juga berhak tahu tulisan-tulisan nonfiksi yang pernah lahir dari tangan dingin Seno Gumira Ajidarma. Lantaran bekerja sebagai wartawan, ia pun banyak menerbitkan esai. Beberapa tulisan esainya yang terkenal antara lain, Surat dari Palmerah 2002; Kisah Mata Fotografi Antara Dua Subjek Perbincangan Tentang Ada 2002; Affair Obrolan Tentang Jakarta 2004; Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara 2005; dan Sembilan Wali dan Siti Jenar 2007. Penghargaan yang Pernah Diraih Sumber Twitter – LitBritish Kegigihan Seno Gumira Ajidarma untuk terus menciptakan karya terbukti berbuah manis. Ia terbilang sering menerima penghargaan sastra, baik dari dalam negeri dan mancanegara. Namun, tidak semua penghargaan diterimanya, lho! Seno ternyata pernah menolak penghargaan bidang kesusastraan dari Ahmad Bakrie Award tahun 2012. Akan tetapi, ia enggan menyebut alasannya secara pasti dan hanya memberikan jawaban yang filosofis sewaktu diwawancara BBC 2012. “Adakalanya dunia politik menyentuh kita, sehingga saya atau kita harus bersikap. Saya tidak bisa terus-menerus di menara gading. Ada keputusan saya harus turun,” ucapnya. “Ada titik tertentu tidak bisa menghindar lagi dari politik, sehingga tulisan saja tidak cukup.” Satu ditolak, tetapi ia masih mengantongi deretan penghargaan bergengsi lain. Apa saja? Berikut ini daftar penghargaan yang pernah diraih Seno sepanjang kariernya di dunia kesusastraan Indonesia. Penghargaan dari majalah Zaman tahun 1980 untuk cerpen Dunia Gorda Penghargaan dari harian Kompas tahun 1990 dan 1993 untuk cerpen Midnight Express dan Pelajaran Mengarang Penghargaan dari harian Suara Pembaruan 1991 untuk cerpen Segitiga Emas Dinny O’Hearn Prize for Literary 1997, Australia, untuk cerpen Saksi Mata South East Asia Write Award 1997, Bangkok, Thailand, untuk cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi Penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim 1997 untuk cerpen Kejadian Kusala Sastra Khatulistiwa Khatulistiwa Literary Award 2005, Indonesia Cerpen Terbaik pilihan Kompas tahun 2007 dan Anugerah Pena Kencana 2008 untuk Cinta di Atas Perahu Cadik Author of the Day di London Book Fair 2019 Meneladani Seno Gumira Ajidarma Lewat Biografi Dirinya Kagum dengan sosok Seno Gumira Ajidarma setelah membaca biografi lengkap dirinya di atas? Jika ingin menjadikan sang pengarang sebagai teladan, kamu juga perlu mengetahui satu lagi capaian dalam kariernya. Bahwasanya, ayah satu anak ini pernah menjadi juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta DKJ pada 2008. Sampai tahun 2010, namanya juga berada di jajaran tim juri ajang Festival Film Indonesia FFI. Ia disibukkan pula sebagai pengajar di Fakultas Film & Televisi IKJ, serta menjabat jadi rektor di kampus tersebut sejak tahun 2016. Seno kerap pula didapuk menjadi pembicara di acara-acara seminar kesusastraan dan kepenulisan. Selain Seno, masih banyak tokoh lain dari kalangan sastrawan maupun negarawan yang dapat kamu jadikan panutan, mulai dari Buya Hamka hingga Moh Hatta. Makanya, jangan lewatkan informasi tokoh-tokoh penting Indonesia di KepoGaul, ya. PenulisArintha AyuArintha Ayu Widyaningrum adalah alumni Sastra Indonesia UNS sekaligus seorang penulis artikel nonfiksi yang juga punya banyak jam terbang menulis fiksi, seperti cerpen dan puisi. Terkadang terobsesi menulis skrip untuk film atau sinema televisi. Punya hobi jalan-jalan di dalam maupun luar negeri. EditorNurul ApriliantiMeski memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, wanita ini tak ragu "nyemplung" di dunia tulis-menulis. Sebelum berkarier sebagai Editor dan Content Writer di Praktis Media, ia pun pernah mengenyam pengalaman di berbagai penjuru dunia maya. 7kDE1gw.
  • 5ke6kyr7ds.pages.dev/152
  • 5ke6kyr7ds.pages.dev/34
  • 5ke6kyr7ds.pages.dev/37
  • 5ke6kyr7ds.pages.dev/262
  • 5ke6kyr7ds.pages.dev/382
  • 5ke6kyr7ds.pages.dev/16
  • 5ke6kyr7ds.pages.dev/259
  • 5ke6kyr7ds.pages.dev/246
  • 5ke6kyr7ds.pages.dev/379
  • cerpen karya seno gumira ajidarma